Masa Kelahiran Sayyidina Ali Bin Abi Tholib
Sayyidina Ali lahir pada hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Ketika itu Abu tholib dan istrinya sedang melaksanakan thowaf di ka’bah.
Sebelum berlangsung pesta kelahirannya Abu Thalib telah mengumumkan nama "Ali" bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti "Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti "Singa". Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Sayyidina Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Sayyidina Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah.
Masa Kanak-kanak Sayyidina Ali Bin Abi Tholib
Ketika Sayyidina Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. Sejak itu Sayyidina Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Sayyidina Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti KhuwAlid r.a., juga Abu Thalib.
Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Sayyidina Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Sayyidina Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t. Periode yang pAling berkesan dalam kehidupan Sayyidina Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Sayyidina Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat risalah yang maha penting.
Masa Remaja Sayyidina Ali Bin Abi Tholib
Usia Sayyidina Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da'wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Sayyidina Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Sayyidina Ali r.a. ketika itu telah berusia 13 tahun.
Perintah dakwah dimulai Rasulullah ketika Sayyidina Ali masih berumur 13 tahun , setelah turun surat asy syura ayat 214 yang intinya untuk memperingatkan kaum kerabatnya yang terdekat , maka rasulullah memanggil Sayyidina Ali dan bersabda : "Hai Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepada kaum kerabatku yang terdekat. Rasulullah berkata Hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul MutThalib. Mereka hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku."
Maka Sayyidina Ali pun mengerjakan perintah nabi dan mengumpulkan keluarga Bani Abdul MuttAlib yang hadir kurang lebih 40 orang.
"Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab dan berkata kepada hadirin dengan sinis: "Kalian benar-benar sudah disihir oleh saudara kAlian!" maka semua hadirin pun bubar.
Rasulullah kembali mengumpulkan keluarga terdekatnya dan menjamunya kemudian rasulullah bersabda :
"Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seorang
pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang kubawa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah di antara kalian yang mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku?"
"Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: "Aku !" Waktu itu aku seorang yang paling muda usianya. Kukatakan lagi: "Ya, Rasul Allah, akulah yang menjadi pembantumu!" Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: "Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!"
Sayyidina Ali berasal dari lingkungan keluarga terkemuka yaitu qabilah Qureiys, yaitu Abul Hasan Ali bin Abi Thalib bin Abdul MutThalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Ayah Sayyidina Ali r.a., yakni Abu Thalib, adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul MutThalib, ayah Nabi Muhammad s.a.w. Jadi, Nabi Muhammad s.a.w. dan Sayyidina Ali r.a. sama-sama berasal dari satu tulang sulbi seorang datuk: Abdul MutThalib bin Hasyim. Jelasnya, baik Rasul Allah s.a.w. maupun Sayyidina Ali r.a., dua-duanya termasuk keluarga Bani Abdul MutThalib. Yang lebih popular dengan sebutan Bani Hasyim.
Abdul MutThalib merupakan pemimpin tertinggi qabilah qureiys di Makkah , dan setelah Abdul MutThalib wafat maka dia digantikan oleh anaknya Abu Tholib sebagai pemimpin tertinggi qabalah qureiys di Makkah, Abdul muttholib mempunyai 10 anak yang paling terkenal diantaranya adalah Abbas, Abu Thalib dan Abdullah. Nabi Muhammad s.a.w., manusia termulia di dunia, adalah putera Abdullah bin Abdul MutThalib. Sayyidina Ali r.a. mempunyai 3 orang saudara lelaki, yaitu Ja'far, 'Aqil dan Thalib. Di suatu medan pertempuran di Tabuk, Ja'far gugur sebagai pahlawan dalam perjuangan membela Nabi Muhammad s.a.w. dan Islam. 'Aqil dikurniai usia panjang hingga sempat mengalami zaman kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Sedang Thalib, anak sulung Abu Thalib, wafat mendahului saudara-saudaranya.
Nasab dari ibunya
Nasab Sayyidina Ali r.a. dari garis Ibunya ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim yang pertama bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Ia termasuk yang paling dini memeluk agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Beliau sangat menghargai dan menghormati Fatimah binti Asad.
Ayah Sayyidina Ali ra (Abu Thalib)
Ayahanda Sayyidina Ali r.a. adalah seorang pemimpin Qureisy. Ia sangat terpandang, dicintai, dihormati dan disegani oleh penduduk Makkah.
Abu Thalib adalah orang yang teguh berdiri membentengi Nabi Muhammad s.a.w. dari segala bentuk rongrongan komplotan kafir Qureiys. Ketika Abu Thalib melihat puteranya, Sayyidina Ali r.a., secara diam-diam bersembahyang di belakang Rasul Allah s.a.w. Diamatinya putera yang masih muda belia itu telah menjadi pengikut Nabi Muhammad s.a.w. Diperhatikan pula puteranya itu tidak gelisah bersembahyang meskipun dilihat ayahnya.
Dan ketika Abu Thalib melihat puteranya sedang berdiri di sebelah kanan Nabi Muhammad s.a.w. yang siap menunaikan sembahyang. Dari kejauhan Abu Thalib melihat puteranya yang seorang lagi yaitu Ja'far. Ja'far segera dipanggil, kemudian diperintahkan: "Bergabunglah engkau menjadi sayap putera pamanmu di sebelah kiri, dan bersembahyanglah bersama dia!"
Kakek Sayyidina Ali ra (Abdul MutThalib)
Pada waktu jemaah haji berjubel tiap tahun di sekitar sumur Zamzam, tentu mereka teringat kepada nama seorang terhormat yang dikagumi rakyatnya. Nama seorang yang dengan tangan dan keringat sendiri menggali sumur itu hingga airnya memancar, setelah sekian abad lamanya tertutup. Sumur Zamzam tak dapat dipisahkan dari nama Abdul MutThalib. Dahulu kala sumur itu merupakan kurnia Allah s.w.t. kepada Nabi Isma'il a.s. bersama bundanya.
Abdul MutThalib atau Syaibah (nama aslinya ) Abdul MutThalib seorang yang memiliki kebijaksanaan yang luas dan iman yang dalam. Hal ini tercermin dengan jelas, tatkala Abrahah datang ke Makkah membawa pasukan yang luar biasa besarnya guna menghancurkan Ka'bah. Setelah Abdul MutThalib mengetahui bahwa kaumnya tidak sanggup menghadapi pasukan penyerbu, maka diperintahkan supaya masing-masing pergi mengungsi ke daerah-daerah pegunungan. Tinggalkan kota Makkah sebagai kota kosong. Anak dan isteri serta hak miliknya masing-masing supaya dibawa. Mengenai keselamatan Ka'bah diserahkan kepada Pemilik rumah suci itu.
Pada suatu hari, Abdul MutThalib pergi menemui Abrahah. Ketika Abdul MutThalib ditanya oleh Abrahah tentang maksud kedatangannya, Abdul MutThalib dengan tegas menjawab: "Aku datang kepada tuan untuk meminta kembAli unta-untaku yang tuan ambil."
Abrahah menyatakan keheranannya karena Abdul MutThalib sebagai penguasa Makkah tidak memikirkan Ka'bah yang akan dihancurkannya itu, tetapi hanya memikirkan unta-untanya saja.
Guna menghilangkan keheranan Raja Yaman itu, Abdul MutThalib dengan jelas mengatakan, bahwa unta-unta yang kalian ambil adalah milikku, sedang Ka'bah yang hendak dihancurkan itu mempunyai pemiliknya sendiri yang akan melindungi keselamatannya
Sitti Fatimah Azzahra r.a
Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi'tsah. Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Keadaan Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah
Masa kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.
Setelah bebas dari penderitaan selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya ibu tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Puteri Kesayangan Rasulullah Muhammad SAW ( Sitti Fatimah Azzahra r.a )
Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fatimah Azzahra r.a. adalah putei bungsu yang paling disayang dan dikasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.
Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasulullah s.a.w. berkata kepada Sayyidina Ali r.a.
"Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyusahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…"
Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melainkan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.
Hijrah ke Madinah
Ketika kaum kafir Quraisy berencana untuk membunuh Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memanggil Sayyidina Ali supaya tidur di tempat di mana beliau tidur dan pada malam itu Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam hijrah dengan didampingi Abu Bakar As Siddiq dan nabi meninggalkan keluarganya ketika kaum kafir Quraisy sampai di rumah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam mereka tidak menemukan Nabi Muhammad tetapi mereka hanya berjumpa dengan Sayyidina Ali radhiyallahu anhu yang tidur di tempat tidur Rasulullah.
Pada keesokan harinya Sayyidina Ali memimpin keluarga Nabi untuk berhijrah ke Madinah, Sayyidina Ali radhiallahu Anhu membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah yang terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan di dalam rombongan Sayyidina Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Sayyidina Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul MutThalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul MutThalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.
Sayyidina Ali beserta keluarga nabi hijrah dengan cara terang-terangan , mendengar rombongan Sayyidina Ali yang akan berangkat maka orang-orang kafir Quraisy menugaskan 8 orang pasukan berkuda untuk mengejar Sayyidina Ali dan rombongan pasukan itu ditugaskan untuk menangkap atau membunuh Sayyidina Ali beserta rombongan.
Setelah Sayyidina Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus.
Lalu para kafir qureys berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Sayyidina Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Sayyidina Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Sayyidina Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Sayyidina Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda Gerombolan Qureiys mundur.
Pernikahan Sayyidina Ali ra dengan Sitti Fatimah r.a.
Sayyidina Ali menikah dengan putri Rasulullah Muhammad SAW dengan maskawin sebuah baju besi seharga 400 dirham.
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.
Sitti Fatimah r.a. dan Sayyidina Ali hidup dengan sederhana dan penuh dengan kebahagiaan saling tolong menolong untuk membangun keluarga yang seimbang. kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. hidup Bersama Sayyidina Ali Dia pun wafat dalam usia 28 tahun.
Keturunan Sayyidina Ali ra dengan Sitti Fatimah r.a.
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu- cucunya.
Peperangan yang diikuti Sayyidina Ali ra pada masa Nabi
PERANG BADAR
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia mempunyai peran yang penting dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Badar terjadi pada tahun 2 Hijriah, tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan atau 17 Maret 624 M. Perang ini merupakan perang dahsyat yang dialami oleh kaum muslimin melawan pasukan kafir Quraisy. Perang terjadi di lembah Badar, suatu daerah antara kota Mekkah dan kota Madinah. Dalam perang ini pasukan kaum muslimin hanya sekitar 300-an orang sementara pasukan kafir Quraisy mencapai 1000 orang pasukan. Namun kemenangan ada di pihak kaum muslimin.
PERANG UHUD
Perang Uhud dimulai dengan duel antara Ali bin Abi Thalib dengan Utsman bin Thalhah. Utsman bin Thalhah adalah pemegang panji kaum Musyrikin. Ia berulang kali menantang berduel sehingga Ali yang menjawab tantangannya. Maka keduanya saling menyerang hingga Ali berhasil menebas kakinya hingga putus.
Perang Uhud adalah perang yang pecah antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy pada tanggal 23 Maret 625 M (7 Syawal 3 H). Perang ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu setelah Perang Badar. Tentara Islam berjumlah 700 orang sedangkan tentara kafir berjumlah 3.000 orang. Tentara Islam dipimpin langsung oleh Muhammad sedangkan tentara kafir dipimpin oleh Abu Sufyan. Disebut Perang Uhud karena terjadi di dekat bukit Uhud yang terletak 4 mil dari Masjid Nabawi dan mempunyai ketinggian 1000 kaki dari permukaan tanah dengan panjang 5 mil.
PERANG KHANDAQ
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khandaq (bahasa Arab: غزوة الخندق, translit. Ghazwat al-Khandaq), yang juga dikenAli sebagai Perang Al-Ahzab (Pertempuran Konfederasi) atau Pengepungan Madinah, terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah atau pada tahun 627 Masehi. Pertempuan dan pengepungan Madinah ini dipelopori oleh pasukan gabungan (al-Ahzab, konfederasi) antara kaum kafir Quraisy Makkah, suku-suku Arab lain sekutu Quraisy, dan Yahudi Bani Nadir. Pengepungan tersebut dimulai pada 31 Maret 627, dan berakhir setelah 27 hari.
Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyyah (bahasa Arab: صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah [1] Mekkah pada Maret, 628 M (Dzulqa'dah, 6 H). Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah
Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Namun karena saat itu kaum Quraisy di Mekkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kekalahan dalam Perang Khandaq), maka Mekkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.
- Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.
- Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembAlikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. SebAliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembAli ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembAlikan kepada Rasul Allah.
- Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orangorang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.
Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembAli lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan mengeluarkan pedang dari sarungnya.
PERANG KHAIBAR
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi ﷺ bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Pertempuran Khaibar adalah pertempuran yang terjadi antara umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad ﷺ dengan umat Yahudi yang hidup di oasis Khaybar, sekitar 150 km dari Madinah, Arab Saudi. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan umat Islam, dan Nabi Muhammad ﷺ berhasil memperoleh harta, senjata, dan dukungan kabilah setempat. Pertempuran ini terjadi sekitar dua pekan kemudian, Rasul ﷺ bahkan memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah ﷺ.
Hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Masa ketika Sayyidina Ali ra diangkat menjadi kholifah ke 4.
Setelah Utsman bin Affan terbunuh, maka pada saat itu terjadilah kekosongan ke kholifahan selama 8 hari . maka kaum yang memberontak atas ke kalifahan Utsman bin Affan mendatangi para sahabat Nabi satu per satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak.
Masyarakat yang memberontak atas ke kholifahan Utsman bin Affan , kaum Muhajirin dan Anshor bersepakat untuk membai’at Ali sebagai kholifah ke 4 tetapi Sayyidina Ali menolak dan Sayyidina Ali lebih menghendaki supaya urusan ke khalifan dilakukan dengan musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat nabi yang paling utama. Kemudian atas desakan masyarakat kaum Muhajirin dan Anshor maka Sayyidina Ali bersedia dibai’at.
Sayyidina Ali ra dibai'at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit. dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak bersedia ikut membai'at Sayyidina Ali.
Ketika Sayyidina Ali ra menjadi kholifah banyak kekacauan yang terjadi.
Perang Jamal (bahasa Arab: حرب الجَمَل) adalah perang yang dipimpin oleh Sitti Aisyah (istri Nabi saw), Thalhah dan Zubair melawan Sayyidina Ali ra khalifah kaum Muslimin waktu itu. Perang ini meletus pada tahun 36 H/656 di sekitar Bashrah. Sitti Aisyah ummul mukminin dan pasukannya menyulut api perang dengan alasan balas dendam atas pembunuh Utsman bin Affan, khalifah Ketiga.
Sitti Aisyah ummul mukminin hadir dalam perang ini dan naik unta berambut merah. Penamaan perang ini dengan nama Perang Jamal (unta betina) adalah karena hal ini. Perang ini adalah perang pertama kali yang terjadi di antara kaum Muslimin. Perang ini diakhiri dengan kemenangan pasukan Sayyidina Ali ra dan terbunuhnya Thalhah dan Zubair. Sitti Aisyah ummul mukminin menjadi tawanan dan dipulangkan secara terhormat ke Madinah.
Percakapan Sayyidina Ali ra dan Thalhah
"Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"
Pertanyaan Sayyidina Ali ra. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.
Marwan bin Al-Hakam membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri
Percakapan Sayyidina Ali ra Zubair
Sayyidina Ali ra berkata kepada Zubair : Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: "Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!"
Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Perang Shiffin (bahasa Arab: معركة صفين)
Perang yang terjadi antara Sayyidina Ali ra dan Mu'awiyah di Shiffin yang kemudian dikenal dengan Perang Shiffin dalam hal ini posisi Sayyidina Ali ra menjadi terpojok, karena ketika perang yang berlangsung beberapa minggu itu hampir dimenangkan oleh Sayyidina Ali ra tetapi dengan kecerdikan dalam berpolitik, Amr ibn Ash sebagai pemimpin pasukan Mu'awiyah mengangkat lembaran-lembaran al-Qur'an di ujung pedang yang menandakan berakhirnya pemberontakan bersenjata yang terjadi dan mengikuti keputusan al-Qur'an.
Dengan berbagai pertimbangan yang dilakukan Sayyidina Ali ra dan desakan dari para pengikutnya, akhirnya perdamaian pun terjadi dengan perundingan yang dilakukan oleh ke dua belah pihak, dari pihak Sayyidina Ali ra mengirimkan Abu Musa al-Asy'ari dan di pihak Mu'awiyah mengirimkan Amr bin Ash sebagai hakim dalam perundingan tersebut. Perundingan yang dihadiri oleh 400 orang dari dua belah pihak dilakukan di Adhruh jalan utama antara Madinah dan Damaskus.
Dalam perundingan ini menyebabkan terpecahnya pasukan dari pihak Sayyidina Ali ra karena sebagian kelompok mengklaim bahwa perundingan itu tidak sesuai dengan Islam, kelompok yang memberontak yaitu kelompok Khawarij dan kelompok yang tetap mendukung Sayyidina Ali ra yaitu kelompok Syiah. Akan tetapi perundingan itu di khianati oleh Mu'awiyah dan secara sepihak ia menurunkan Sayyidina Ali ra dari jabatan khalifah. Akibat dari perundingan (tahkim) Islam terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Mu'awiyah, Syiah dan Khawarij.
Kedua kelompok yaitu Syiah dan Khawarij yang pada masa yang akan datang menjadi kelompok aliran atau sekte agama. Munculnya golongan Khawarij ini membuat kekuatan pasukan Sayyidina Ali ra manjadi lemah dan posisi Mu'awiyah menjadi kuat. Selain terpecahnya umat Islam, peristiwa ini juga merubah system pemerintahan dari demokratis ke monarki, karena pada saat Mu'awiyah menjabat sebagai khalifah ia mengangkat putranya sebagai putra mahkota.
Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat
Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat pada 29 Januari 661 atau 21 Ramadhan 40 H. Penyebab meninggalnya adalah serangan seseorang yang bernama Abdurrahman bin Muljam. Ia diserang saat sedang salat subuh di Masjid Kufah pada 19 Ramadhan 40 H atau 27 Januari 661. Sayyidina Ali ra memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij yang telah membunuhnya.
Sekelumit Mengenai sayyidina ali ra.
1. Alkisah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
انا باب العلم و علي مفتاحه
Artinya: "Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya".
2. Ahlussunnah ( sunni) berpendapat bahwa sayyidina ali ra adalah sahabat nabi dan sekaligus juga sebagai Ahli bait Nabi , dia juga sebagai Kholifah yang ke 4 Khulafaurrosyidin.
3. SUFI menambah sebutan bahwa Sayyidina Ali ra dengan Karramallohu Wajhahu. Dia juga dianggap sebagai Imam dalam ahli hikmah dan juga dalam ilmu spiritual. Karena dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh)
Wallohu ‘alam bisshowab
Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Referensi
1. Sejarah Sayyidina Ali dari berbagai sumber.
2. Wikipedia.org
3. wikishia.net
4. Pengelana Ahli Ruhani dll.