لحمد لله الذى خلق السموات والأرض
وما بينهما تحت الثرى
اشهد ان لا اله الا الله وحده لا
شريك له الرحمن على العرش التوى
واشهد ان محمدا رسول الله و هو نبي
المسطفى
اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى
اله وصحبه الذى يدعو امته الى جنات المأوى
اما بعد فياعباد الله
اتقوا الله واطيعوه لعلكم تفلحون
قال الله تعالى وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ
مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
وقال رسول الله مخمد صلى الله عليه
وسلم
حُفَّتِ
الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Marilah kita
panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq serta
hidayah-Nya, sehingga kita masih dalam keadaan beriman dan berislam.
Selanjutnya, dari atas mimbar Jum’at ini, khotib mewasiatkan kepada
diri khatib sendiri dan berikut jama’ah jumat sekalian, marilah, dari sisa-sisa
waktu yang Allah berikan ini, kita gunakan untuk selalu meningkatkan ketaqwaan
kita kepada Allah, yaitu dengan selalu memperhatikan syariat Allah, menerapkan
dalam setiap derap langkah hidup kita hingga akhir hayat. Baik berhubungan
dengan hal-hal yang wajib, sunnah, haram, makruh, maupun yang mubah. Karena,
dengan ukuran inilah prestasi seorang manusia dinilai di hadapan Allah.
Hadirin Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah
Adapun yang
menjadi judul khutbah kita pada jum’at yang peenuh berkah ini adalah :
PENTINGNYA TAQWA DAN FAKTOR PENDUKUNG
MEWUJUDKANNYA
Pernah suatu
ketika Rasulullah muhammad Shalallaahu alaihi wasalam berwasiat
mengenai taqwa, dan kisah ini diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah bahwa
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam shalat subuh bersama kami, kemudian
memberi nasihat dengan nasihat yang baik yang dapat meneteskan air mata serta
menggetarkan hati yang mendengarnya. Lalu berkatalah salah seorang sahabat, “Ya
Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir, oleh karena itu nasihatilah kami”.
Lalu Nabi bersabda:
أَوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا،
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
Artinya: “Aku
wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati,
sekalipun kepada budak keturunan Habsyi. Maka sesungguhnya barangsiapa di
antara kamu hidup pada saat itu, maka dia akan menyaksikan banyak perbedaan
pendapat. Oleh karena itu hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi
gerahammu (peganglah sunnah ini erat-erat). Dan berwaspadalah kamu terhadap
perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad
IV:126-127; Abu Dawud, 4583; Tarmidzi, 2676, Ibnu Majah, 43; Ad-Darimi 1:44-45;
Al-Baghawi, 1-205, syarah dan As Sunnah, dan Tarmidzi berkata, hadits ini hasan
shahih, dan shahih menurut Syaikh Al-Albani).
Hadirin sidang sholat jumat yang
berbahagia.
Dalam sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasallam: “Aku
wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
mentaati”, seorang ulama Ibnu Rajab
berkata, bahwa kedua kata itu mendengar dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Adapun taqwa merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Para sahabat dan generasi salafus shalih yang memahami betul
tuntunan Al-Qur’an dan mengikuti jejak sunnah Rasulullahmuhammad Shalallaahu
alaihi wasalam, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap taqwa ini,
mereka terus mencari hakikatnya, saling bertanya satu sama lain, serta mereka
berusaha keras untuk mencapai derajat taqwa.
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Umar bin Khathab
ra bertanya kepada Ubai Ibnu Ka’ab ra, tentang taqwa, maka berkatalah Ubai
kepada Umar:
“Pernahkah engkau melewati jalan
yang penuh duri?”
“Ya, Pernah”. Jawab Umar.
Ubai bertanya lagi: “Apa yang anda
lakukan saat itu?”.
Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan
berhati-hati sekali agar tak terkena dengan duri itu”. Lalu Ubai berkata:
“Itulah taqwa”.
Dari riwayat ini kita dapat
mengambil pelajaran bersama, bahwa Taqwa itu adalah kesiapan diri, kelembutan
perasaan, rasa takut kepada Allah terus menerus, hingga ia selalu waspada dan
hati-hati agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat di jalanan. Ia
menghindari perbuatan syirik sejauh-jauhnya, juga menghindari semua maksiat dan
dosa, yang kecil maupun yang besar. Serta ia juga berusaha keras sekuat tenaga
mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu wa Ta’ala, lahir
dan batin dengan hati yang tawadhu’ dan merendahkan diri di hadapan
Allah Subhannahu wa Ta’ala.
Hadirin Jama’ah Jum’at yang
dimuliakan Allah
Kata taqwa memang selalu mengawali pesan khatib dalam tiap khutbah
jumat yang disampaikan, karena memang sangat pentingnya mewujudkan sebuah
ketaqwaan di dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak sekali faktor-faktor pendukung agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut,
di antaranya ada 5 hal penting:
1. Mahabbatullah atau mencintai
Allah.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Kecintaan kepada Allah itu
ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat
yang dicintainya, batangnya adalah mengenal Allah, rantingnya
adalah rasa takut kepada siksa-Nya, daunnya adalah rasa malu
terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepada-Nya, bahan
penyiramnya adalah dzikir kepada-Nya, kapan saja, jika amalan-amalan tersebut
berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah”. (Raudlatul Muhibin,
409, Darush Shofa).
2. Merasakan adanya pengawasan
Allah.
Allah Subhannahu wa Ta’ala
berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat
apa-apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah mengawasi
dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat
ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di
ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmu-Nya, Dia dengarkan perkataanmu,
melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu
sembunyikan serta yang kamu fikirkan”. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
3. Menjauhi penyakit hati
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar,
kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun
penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit
yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak
senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu
membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh
Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah
Subhannahu wa Ta’ala dari penyakit itu semua.
4. Menundukkan hawa nafsu
Apabila kita
mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan
kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat
mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى
النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
artinya: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat
tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41)
5. Mewaspadai tipu daya syaithan
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi
orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur,
jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya
yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan
cara yang ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil
dengan cara ini ia menggoda dengan perbuatan mubah perkara yang
diperbolehkan, sehingga manusia menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika
tidak mampu juga maka syaithan akan menyerahkan bala tentaranya untuk
menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan silih berganti.
Kaum muslimin
jamaah sholat jumat yang berbahagia..
Marilah, kita bersegera kembali menuju ampunan Allah dengan
bertaubat, melaksanakan amalan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya. Umat
Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya adalah
dengan menerjemahkan keduanya dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk
orang-orang yang digambarkan di dalam Al-Quran dengan tiga kelompok manusia :
zhalimun linafsih, muqtashid, atau saabiqun bil khairat bi idznillah.
Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu
Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
Pertama: Zhalimun linafsihi adalah orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi
banyak melanggar apa yang di haramkan oleh Allah.
Kelompok kedua adalah Muqtashid, yaitu orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang
diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Kelompok ketiga adalah:Sabiqun bil
khairat, yaitu orang yang mengerjakan
kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan
meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun
di antara kita yang bercita-cita untuk mendekam dalam penjaranya Allah yang
berupa siksa api Neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi
semua itu terpulang kepada kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan
syari’at dan aturan dari Allah, tidak mustahil kita akan mendekam di dalamnya.
Na’udzu billah.
Itulah ujian Allah kepada kita,
sebagaimana sabda Rasul SAW.
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ
النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ.
“(Jalan) menuju Jannah itu penuh dengan sesuatu yang tidak disukai
manusia, dan (jalan) Neraka itu dilingkupi sesuatu yang disukai oleh syahwat”
Semoga Allah
mengumpulkan kita dalam umat muhammad Rosulullah yang terbaik dan
terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Amin