اَشْهَدُ اَنْ لا َاِلَهَ اِلا
الله وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
اَلله ُوَحْدهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ
مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهْ حَقُّ الله - رَحْمَةُ الله – رِضَأ الله
Tahap-tahap dan peringkat-peringkat perubahan kerohanian
telah disebutkan. Perlu ditegaskan bahwa setiap peringkat harus dicapai
terutama taubat. Cara bertaubat bisadipelajari pada orang yang mengetahui cara
berbuat demikian dan yang telah sendirinya bertaubat. Taubat yang sebenar dan
menyeluruh merupakan langkah pertama di dalam perjalanan.
إِذ جَعَلَ الَّذينَ
كَفَروا فى قُلوبِهِمُ الحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الجٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ
اللَّهُ سَكينَتَهُ عَلىٰ رَسولِهِ وَعَلَى المُؤمِنينَ وَأَلزَمَهُم
كَلِمَةَ التَّقوىٰ وَكانوا أَحَقَّ بِها وَأَهلَها
ۚ وَكانَ
اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا ﴿٢٦
(Ingatlah) Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati
mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan
kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu
dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surah Fath, ayat 26).
Keadaan takut kepada Allah adalah sama dengan kalimah “La ilaha illa Llah” – tiada Tuhan, tiada apa-apa, kecuali Allah. Bagi orang yang mengetahui ini, akan ada perasaan takut kehilangan-Nya, kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya, keampunan-Nya; dia takut dan malu melakukan kesalahan sedangkan Dia melihat, dan takut azab-Nya. Jika keadaan seseorang itu tidak demikian, dia perlu mendapatkaan orang yang bisa mentakutkan kepada Allah dan menerima keadaan takut Allah itu dari orang tersebut.
Sumber dari mana saja perkataan itu, harus diterima dengan
bersih dan suci dari segalanya kecuali Allah, dan siapa yang menerimanya harus
bisa membedakan antara perkataan orang yang suci hatinya dengan perkataan orang
awam. Penerimanya harus sadar cara perkataan itu diucapkan, kerana perkataan
yang bunyinya sama mungkin mempunyai maksud yang jauh berbeda. Tidak mungkin
perkataan yang datangnya dari sumber yang asli sama dengan perkataan yang
datangnya dari sumber lain.
Hatinya menjadi hidup bila dia menerima benih tauhid dari hati yang hidup, karena benih yang demikian sangat subur, itulah benih kehidupan. Tidak ada yang tumbuh dari benih yang kering lagi tiada kehidupan. Kalimah suci “La ilaha illa Llah” disebut dua kali di dalam Quran menjadi bukti.
إِنَّهُم كانوا إِذا قيلَ لَهُم لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَستَكبِرونَ ﴿٣٥﴾ وَيَقولونَ أَئِنّا لَتارِكوا ءالِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجنونٍ ﴿٣٦﴾
(35) "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ""Laa ilaaha illallah"" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri." (36) "dan mereka berkata: ""Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Surah Shaaffaat. Ayat 35 & 36).
Ini adalah keadaan orang awam yang baginya rupa luar termasuk kewujudan zahirnya adalah tuhan-tuhan.
فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِنٰتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثوىٰكُم
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu". (Surah Muhammad, ayat 19).
Firman Allah ini menjadi panduan kepada orang-orang beriman yang takut kepada Allah.
Sayyidina Ali r.a meminta Rasulullah s.a.w mengajarkan kepadanya cara yang mudah, paling bernilai, paling cepat kepada keselamatan. Baginda s.a.w menanti Jibrail memberikan jawabannya dari sumber Ilahi. Jibrail datang dan mengajarkan baginda s.a.w mengucapkan “La ilaha” sambil memutarkan mukanya yang diberkati ke kanan, dan mengucapkan “illa Llah” sambil memutarkan mukanya ke kiri, ke arah hati sucinya yang diberkati. Jibrail mengulanginya tiga kali; Nabi s.a.w mengulanginya tiga kali dan mengajarkan yang demikian kepada Sayidina Ali r.a dengan mengulanginya tiga kali juga. Kemudian baginda s.a.w mengajarkan yang demikian kepada sahabat-sahabat baginda. Sayidina Ali r.a merupakan orang yang pertama bertanya dan menjadi orang yang pertama diajarkan.
Kemudian satu hari setelah kembali dari peperangan, Nabi
s.a.w berkata kepada pengikut-pengikut baginda, “Kita baru kembali dari
peperangan yang kecil untuk menghadapi peperangan yang besar”. Baginda s.a.w
merujukkan kepada perjuangan dengan ego diri sendiri, keinginan yang rendah yang
menjadi musuh kepada penyaksian kalimah tauhid. Baginda s.a.w bersabda, “Musuh
kamu yang paling besar ada di bawah rusuk kamu”.
Cinta Ilahi tidak akan hidup sehingga musuhnya, hawa nafsu
badaniah kamu, mati dan meninggalkan kamu.
Awalnya harus bebas dari ego yang mengnyeret kamu kepada
kejahatan. Kemudian kamu akan memiliki sedikit suara hati, walaupun kamu masih
belum bebas sepenuhnya dari dosa. Kamu akan memiliki perasaan mengkritik diri
sendiri – tetapi ia belum mencukupi. Kamu mesti melewati tahap tersebut pada
peringkat di mana hakikat yang sebenarnya dibukakan kepada kamu, kebenaran
tentang benar dan salah.
Kemudian kamu akan berhenti melakukan kesalahan dan akan hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian diri kamu akan menjadi bersih. Di dalam menentang hawa nafsu dan tarikan badan kamu, kamu mesti melawan nafsu kehewanan – kerakusan, terlalu banyak tidur, pekerjaan yang sia-sia – dan menentang sifat-sifat hewan liar di dalam diri kamu – kekejian, marah, kasar dan berkelahi. Kemudian kamu mesti usahakan membuang perangai-perangai ego yang jahat, takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit tubuh dan hati kamu. Cuma orang yang berbuat demikian yang benar-benar bertaubat dan menjadi bersih, suci dan murni.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوّٰبينَ
وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرينَ ﴿٢٢٢
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Surah Baqarah, ayat 222).
Dalam melakukan taubat seseorang itu mesti
bersungguh-sungguh, supaya penyesalannya tidak samar-samar dan tidak juga
secara umum agar dia tidak jatuh ke dalam ancaman Allah:
“Banyak sekali mereka bertaubat mereka tidak sebenarnya
menyesal. Taubat mereka tidak diterima”.
Ini ditujukan kepada mereka yang hanya mengucapkan kata-kata
taubat tetapi tidak tahu sejauh mana dosa mereka, malah tidak mengambil
tindakan pembaikan dan pencegahan. Itulah taubat yang biasa, taubat zahir yang
tidak menusuk kepada puncak dosa. Ia adalah umpama orang yang menghilangkan
rumput dengan memotong bagian di atas tanah tetapi tidak mencabut akarnya yang
di dalam bumi. Tindakan yang demikian membantu rumput untuk tumbuh dengan lebih
segar. Orang yang bertaubat dengan mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan
itu berazam tidak mengulanginya dan membebaskan dirinya dari kesalahan itu,
mencabut akar pokok yang merosakkan itu. Cangkul yang digunakan untuk menggali
akarnya, puncaknya dosa-dosa, yaitu pengajaran kerohanian dari guru yang benar.
Tanah mestilah dibersihkan sebelum ditanami benih.
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (Surah Hasyr, ayat 21).
“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan
memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Surah
Syura, ayat 25).
"kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." . (Surah Furqaan, ayat 70).
Ketahuilah taubat yang diterima, tandanya ialah seseorang itu tidak lagi jatuh ke dalam dosa tersebut.
"kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." . (Surah Furqaan, ayat 70).
Ketahuilah taubat yang diterima, tandanya ialah seseorang itu tidak lagi jatuh ke dalam dosa tersebut.
Ada dua jenis taubat, taubat orang awam dan taubat mukmin
sejati. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan dan masuk kepada kebaikan
dengan cara mengingati Allah dan mengambil langkah usaha bersungguh-sungguh,
meninggalkan hawa nafsunya dan kesenangan badannya dan menekankan egonya. Dia
mesti meninggalkan keegoannya yang ingkar terhadap peraturan Allah dan masuk
kepada taat. Itulah taubatnya yang menyelamatkannya dari neraka dan
memasukkannya ke dalam surga.
Orang mukmin sejati, hamba Allah yang murni, berada di dalam
suasana yang jauh berbeda. Mereka berada pada maqam makrifat yang jauh lebih
tinggi daripada maqam orang awam yang paling baik. Sebenarnya bagi mereka tidak
ada lagi anak tangga untuk dipanjat; mereka telah sampai kepada kebersamaan
dengan Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan dan nikmat dunia ini dan
menikmati kelezatan alam kerohanian – rasa kebersamaan dengan Allah, nikmat
menyaksikan Zat-Nya dengan mata keyakinan.
Perhatian orang awam tertuju kepada dunia ini dan kesenangan
mereka adalah merasakan nikmat kebendaan dan kewujudan kebendaannya. Malah,
jika kewujudan kebendaan manusia dan dunia merupakan satu kesilapan begitu
jugalah nikmat dan kecacatan yang paling baik daripadanya. Kata-kata yang
diucapkan oleh orang arif, “Kewujduan dirimu merupakan dosa, menyebabkan segala
dosa menjadi kecil jika dibandingkan dengannya”. Orang arif selalu mengatakan
bahwa kebaikan yang dilakukan oleh orang baik tidak sampai kehadapan Allah
tidak lebih dari kesalahan orang yang hampir dengan-Nya. Jadi, bagi mengajar
kita memohon keampunan terhadap kesalahan yang tersembunyi yang kita sangkakan
kebaikan, Nabi s.a.w yang tidak pernah berdosa memohon ampunan pada Allah
sebanyak seratus kali sehari. Allah Yang Maha Tinggi mengajarkan kepada
rasul-Nya:
“Pintalah perlindungan bagi buah amal kamu dan bagi mukmin dan mukminat”. (Surah Muhamamd, ayat 19).
“Pintalah perlindungan bagi buah amal kamu dan bagi mukmin dan mukminat”. (Surah Muhamamd, ayat 19).
Dia jadikan rasul-Nya yang suci murni sebagai teladan tentang cara bertaubat – dengan merayu kepada Allah supaya menghilangkan ego seseorang, sifat-sifatnya dan dirinya, semuanya pada diri seseorang, mencabut kewujudan diri seseorang. Inilah taubat yang sebenarnya.
Taubat yang demikian meninggalkan segala-galanya kecuali Zat
Allah, dan berazam untuk kembali kepada-Nya, kembali kepada kebersamaan-Nya
untuk melihat Wajah Ilahi. Nabi s.a.w menjelaskan taubat yang demikian dengan
sabda baginda s.a.w, “Ada sebagian hamba-hamba Allah yang benar yang tubuh
mereka berada di sini tetapi hati mereka berada di sana, di bawah arasy”. Hati
mereka berada pada langit kesembilan, di bawah arasy Allah kerana penyaksian
suci terhadap Zat-Nya tidak mungkin berlaku pada alam bawah.
Di sini hanya kenyataan atau penampakan sifat-sifat suci-Nya yang dapat disaksikan, memancar ke atas cermin yang bersih kepunyaan hati yang suci. Sayyidina Umar r.a berkata, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Hati yang suci adalah cermin di mana keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan Allah memancar. Nama lain yang diberi kepada suasana ini ialah pembukaan (mukasyafah), menyaksikan sifat-sifat Ilahi yang suci (musyahadah).
Di sini hanya kenyataan atau penampakan sifat-sifat suci-Nya yang dapat disaksikan, memancar ke atas cermin yang bersih kepunyaan hati yang suci. Sayyidina Umar r.a berkata, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Hati yang suci adalah cermin di mana keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan Allah memancar. Nama lain yang diberi kepada suasana ini ialah pembukaan (mukasyafah), menyaksikan sifat-sifat Ilahi yang suci (musyahadah).
Bagi yang memperoleh suasana tersebut, untuk membersihkan
dan menyinarkan hati, perlulah kepada guru yang matang, yang di dalam keesaan
dengan Allah, yang disanjung dan dimuliakan oleh semua, sejak dahulu hingga
sekarang. Guru tersebut mesti telah sampai kepada maqam kebersamaan dengan
Allah dan diturunkan lagi ke alam rendah oleh Allah untuk membimbing dan
menyempurnakan mereka yang layak tetapi masih mempunyai kecacatan.
Di dalam penurunan mereka untuk melakukan tugas tersebut
wali-wali Allah mestilah berjalan Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w dengan
mengikuti teladan baginda s.a.w, tetapi tugas mereka berlainan dengan tugas
rasul. Rasul diutuskan untuk menyelamatkan orang ramai dan juga orang-orang
yang beriman. Guru-guru tadi pula tidak diutus untuk mengajar semua orang
tetapi hanyalah sebilangan yang dipilih saja. Rasul-rasul diberi kebebasan
dalam menjalankan tugas mereka, sementara wali-wali yang mengambil tugas sebagai
mursyid mesti mengikuti jalan rasul-rasul dan nabi-nabi.
Guru kerohanian yang mengaku diri mereka merdeka, menyamakan
dirinya dengan nabi, jatuh kepada kesesatan dan kekufuran. Bila Nabi s.a.w
mengatakan sahabat-sahabat baginda yang arif adalah umpama nabi-nabi Bani
Israil, yang baginda memaksudkan bukan seperti itu, – karena nabi-nabi yang
datang setelah Musa a.s semuanya mengikuti prinsip agama yang dibawa oleh Musa
a.s. Mereka tidak membawa syari'at baru. Mereka mengikuti undang-undang yang
sama. Seperti mereka juga orang-orang arif dari kalangan umat Nabi Muhammad
s.a.w yang bertugas membimbing sebagian dari orang-orang suci yang dipilih,
mengikuti kebijaksanaan Nabi s.a.w, tetapi menyampaikan perintah dan larangan
dengan cara baru yang berbeda, terbuka dan jelas, menunjukkan kepada
murid-murid mereka dengan perbuatan yang mereka kerjakan pada masa dan keadaan
yang berlainan. Mereka memberi dorongan kepada murid-murid mereka dengan
menunjukkan kelebihan dan keindahan prinsip-prinsip agama. Tujuan mereka ialah
membantu pengikut-pengikut mereka menyucikan hati yang menjadi tampak untuk
membangun tugu makrifat.
Semua itu mereka mengikuti teladan dari pengikut-pengikut
Rasulullah s.a.w yang terkenal sebagai ‘golongan yang memakai baju bulu’ yang
telah meninggalkan semua aktivitis keduniaan untuk berdiri di pintu Rasulullah
s.a.w dan berada hampir dengan baginda. Mereka menyampaikan kabar sebagaimana
mereka menerimanya secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w. Dalam
kebersamaan mereka dengan Rasulullah s.a.w mereka telah sampai kepada peringkat
di mana mereka boleh berbicara tentang rahasia isra' dan mi'raj Rasulullah
s.a.w sebelum baginda membuka rahasia tersebut kepada sahabat-sahabat baginda.
Wali-wali yang menjadi mursyid memiliki kebersamaan yang serupa dengan Nabi s.a.w dengan Tuhannya. Amanah dan penjagaan terhadap ilmu ketuhanan yang serupa dianugerahkan kepada mereka. Mereka merupakan Pemegang sebagian dari kenabian, dan diri batin mereka selamat di bawah penjagaan Rasulullah s.a.w.
Tidak semua orang yang memiliki ilmu berada di dalam keadaan
tersebut. Mereka yang sampai ke situ adalah yang lebih cinta kepada Rasulullah
s.a.w daripada anak-anak dan keluarga mereka sendiri dan mereka adalah umpama
anak-anak kerohanian Rasulullah s.a.w yang hubungannya lebih erat daripada
hubungan darah. Mereka adalah pewaris sebenar kepada Nabi s.a.w. Anak yang
sejati memiliki zat dan rahasia bapaknya pada rupa zahirnya dan juga pada ggbatinnya. Nabi s.a.w menjelaskan rahasia ini, “Ilmu khusus
adalah umpama khazanah rahasia yang hanya mereka yang mengenali Zat Allah boleh
mendapatkannya. Namun bila rahasia itu dibukakan orang yang mempunyai kesadaran
dan ikhlas tidak menafikannya”.
Ilmu tersebut dimasukkan kepada Nabi s.a.w pada malam
baginda s.a.w mi'raj kepada Tuhannya. Rahsia itu tersembunyi di dalam diri
baginda di balik tiga ribu tabir hijab. Baginda s.a.w tidak membuka rahasianya
melainkan kepada sebagian pengikut baginda yang sangat cinta dengan baginda.
Melalui penyebaran dan keberkatan rahasia inilah Islam akan terus memerintah
sehingga ke hari kiamat.
Pengetahuan batin tentang yang tersembunyi membawa seseorang
kepada rahasia tersebut. Sains, kesenian dan kemahiran keduniaan adalah umpama
kerangka kepada pengetahuan batin. Mereka yang memiliki pengetahuan kerangka
itu boleh mengharapkan satu hari nanti mereka diberi kesempatan untuk memiliki
apa yang di dalam kerangka. Sebagian dari mereka yang berilmu memiliki apa yang
patut dimiliki oleh seorang manusia secara umumnya sementara sebagian yang lain
menjadi ahli dan memelihara ilmu tersebut daripada hilang. Ada golongan yang
menyeru kepada Allah dengan nasihat yang baik. Sebagian dari mereka mengikuti
sunnah Nabi s.a.w dan dipimpin oleh Sayyidina Ali r.a. yang menjadi pintu
kepada gedung ilmu yang melaluinya masuklah mereka yang menerima undangan dari
Allah.
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Surah Nahl, ayat 125).
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Surah Nahl, ayat 125).
Maksud dan perkataan mereka adalah sama. Perbedaan pada
zahirnya hanyalah pada perkara-perkara terperinci dan cara pelaksanaannya.
Sebenarnya ada tiga makna yang kelihatan sebagai tiga jenis
ilmu yang berbeda – dilakukan secara berbeda, tetapi menjurus kepada yang satu
Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Ilmu dibagikan kepada tiga yang tidak
ada seorang manusia boleh menanggung keseluruhan beban ilmu itu juga tidak
berupaya mengamalkan dengan sekaliannya.
Bagian pertama ayat di atas “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan
bijaksana (hikmah)”, Sesuai dengan makrifat, zat dan permulaan kepada segala
sesuatu, pemiliknya mestilah sebagaimana Nabi s.a.w beramal Sesuai dengannya.
Ia hanya dikaruniakan kepada lelaki sejati yang berani, tentera kerohanian yang
akan mempertahankan kedudukannya dan menyelamatkan ilmu tersebut. Nabi s.a.w
bersabda, “Kekuatan semangat lelaki sejati mampu menggoncang gunung”. Gunung di
sini menunjukkan keberatan hati setengah manusia. Doa lelaki sejati yang
menjadi tentera kerohanian dimakbulkan. Bila mereka menciptakan sesuatu ia
tercipta, bila mereka mau sesuatu hilang maka ia pun hilang.
“Dia karuniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan Barangsiapa dikaruniakan hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kebajikan yang banyak”. (Surah Baqarah, ayat 269).
Jenis kedua ialah ilmu zahir yang disebut Quran sebagai
“seruan yang baik”. Ia menjadi kulit kepada hikmah kebijaksanaan rohani. Mereka
yang memilikinya menyeru kepada kebaikan, mengajar manusia berbuat baik dan
meninggalkan larangan-Nya. Nabi s.a.w memuji mereka. Orang yang berilmu menyeru
dengan lemah lembut dan baik hati, sementara yang jahil menyeru dengan kasar
dan kemarahan.
Jenis ketiga ialah ilmu yang menyentuh kehidupan manusia di dalam dunia. Ia disebut sebagai ilmu agama (syariat) yang menjadi sarang kepada hikmah kebijaksanaan (makrifat). Ia adalah ilmu yang diperuntukkan kepada mereka yang menjadi pemerintah manusia; menjalankan keadilan ke atas sesama manusia; peraturan manusia sesama manusia. Bagian terakhir ayat Quran yang di atas tadi menceritakan tugas mereka “dan berbincanglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”. Mereka ini menjadi kenyataan kepada sifat Allah “al-Qahhar” Yang Maha Keras. Mereka berkewajipan menjaga peraturan di kalangan manusia selaras dengan hukum Tuhan, seumpama sabut melindungi tempurung dan tempurung melindungi isi.
Jenis ketiga ialah ilmu yang menyentuh kehidupan manusia di dalam dunia. Ia disebut sebagai ilmu agama (syariat) yang menjadi sarang kepada hikmah kebijaksanaan (makrifat). Ia adalah ilmu yang diperuntukkan kepada mereka yang menjadi pemerintah manusia; menjalankan keadilan ke atas sesama manusia; peraturan manusia sesama manusia. Bagian terakhir ayat Quran yang di atas tadi menceritakan tugas mereka “dan berbincanglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”. Mereka ini menjadi kenyataan kepada sifat Allah “al-Qahhar” Yang Maha Keras. Mereka berkewajipan menjaga peraturan di kalangan manusia selaras dengan hukum Tuhan, seumpama sabut melindungi tempurung dan tempurung melindungi isi.
Nabi s.a.w menasihatkan, “Biasakan dirimu berada di dalam
majlis orang-orang arif, taatlah kepada pemimpin kamu yang adil. Allah Yang
Maha Tinggi menghidupkan hati dengan hikmah seperti Dia jadikan bumi yang mati
hidup dengan tumbuh-tumbuhan dengan menurunkan hujan”. Baginda s.a.w juga
bersabda, “Hikmah adalah harta yang hilang bagi orang yang beriman, dikutipnya
di mana saja ditemuinya”.
Malah perkataan yang diucapkan oleh manusia biasa datangnya
daripada Loh Terpelihara menurut hukum Allah terhadap segala perkara dari awal
hingga akhir. Loh itu disimpan pada alam tinggi pada akal asbab tetapi
perkataan diucapkan menurut maqam seseorang. Perkataan mereka yang telah
mencapai maqam makrifat adalah secara langsung dari alam tersebut, maqam
kebersamaan dengan Allah. Di sana tidak ada perantaraan.
Ketahuilah bahwa semua akan kembali kepada asal mereka.
Hati, zat, mesti dikejutkan; dijadikan ia hidup untuk mencari jalan kembali
kepada asalnya yang suci murni. Ia harus mendengar seruan. Seseorang mesti mencari
orang yang orang yang darinya seruan itu muncul, melaluinya tampak ada seruan.
Itulah guru yang benar. Ini merupakan kewajipan bagi kita. Nabi s.a.w bersabda,
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam lelaki dan perempuan”. Ilmu
tersebut merupakan peringkat terakhir semua ilmu, itulah ilmu makrifat, ilmu
yang akan membimbing seseorang kepada asalnya, yang benar (hakikat). Ilmu yang
lain perlu menurut sekadar mana keperluannya. Allah menyukai mereka yang
meninggalkan cita-cita dan angan-angan kepada dunia, kemuliaan dan
kebesarannya, karena kepentingan duniawi ini menghalang seseorang kepada Allah.
قُل لا أَسـَٔلُكُم عَلَيهِ أَجرًا
إِلَّا المَوَدَّةَ فِى القُربىٰ
“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku
kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. (Surah Syura, ayat 23).
رَبَّنَا اَتِنَا
فِى اْلدُنْيَاحَسَنَةً وَفِى
اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
اْلنَّارِ. وَاْلحَمْدُ للهِ رَبّ
اْلعَالَمِيْنَ
رِضَــا يَاالله ……….. الفاتحة
رِضَــا يَاالله ……….. الفاتحة